twitter

PERAWATAN BALUTAN KERING
A. Peralatan
1. Sarung tangan steril
2. Sarung tangan sekali pakai
3. Set balutan ( gunting, pinset, forsep)
4. Nierbekken
5. Kasa besar, kasa kecil, bantalan kasa
6. Balutan kasa ekstra dan surgipad atau bantalan ABD
7. Kom untuk larutan antiseptik atau larutan pembersih
8. Salep anti septik (jika diperlukan)
9. Larutan pembersih yang diresepkan dokter
10. Larutan garam fisiologis atau H2O steril
11. 11.Plester
12. Aseton
13. Kantung plastik untuk sampah
14. Selimut mandi
B. Prosedur
1. Jelaskan prosedur kepada klien
2. Siapkan peralatan yang diperlukan di meja (jangan membuka peralatan)
3. Ambil kantung plastik dan buat lipatan di atasnya. Letakkan kantung plastik agar mudah terjangkau oleh anda
4. Tutup ruangan dengan tirai, tutup semua jendela yang terbuka
5. Bantu klien pada posisi nyaman. Selimut mandi hanya untuk memajankan area luka. Instruksikan klien agar tidak menyentuh area luka atau peralatan steril.
6. Cuci tangan secara menyeluruh
7. Gunakan sarung tangan bersih sekali pakai dan lepaskan plester
8. Lepaskan plester dengan melepaskan ujung dan menariknya dengan perlahan, sejajar pada kulit dan mengarah pada balutan(bila masih terdapat plester pada kulit, dapat dibersihkan dengan aseton)
9. Angkat balutan secara perlahan dengan menggunakan forsep atau pinset
10. Jika balutan lengket pada luka, lepaskan dengan memberikan larutan garam faal atau air steril
11. Observasi karakteristik dan jumlah drainase pada balutan
12. Buang balutan kotor pada nierbekken atau kantung plastik, hindari kontaminasi permukaan luar kantung. Lepaskan sarung tangan dengan menarik bagian dalam keluar. Buang pada Nierbekken,
13. Buka nampan balutan steril. Balutan, gunting,pinset dan forsep harus tetap pada nampan steril. Buka botol larutan antiseptik lalu tuang ke dalam kom steril atau kasa steril
14. Pakai sarung tangan steril
15. Inspeksi luka. Perhatikan kondisinya, letak drain, integritas jahitan dan karakteristik drainase. (palpasi bila perlu, dengan bagian tangan non dominan yang tidak akan menyentuh bahan steril)
16. Bersihkan luka dengan larutan antiseptik atau larutan garam fisiologis. Pegang kasa yang dibasahi dalam larutan dengan forsep. Gunakan kasa terpisah untuk setiap usapan membersihkan. Bersihkan dari daerah yang kurang terkontaminasi ke area terkontaminasi
17. Gunakan kasa baru untuk mengeringkan luka atau insisi. Usap dengan cara seperti pada no. 16
18. Beri salep antiseptik, bila di pesankan, gunakan tehnik seperti pada pembersihan. Jangan dioleskan di atas tempat drainase
19. Pasang balutan steril kering pada insisi atau letak luka
20. Gunakan plester di atas balutan
21. Lepaskan sarung tangan dan buang pada tempat yang telah disediakan
22. Sisihkan semua alat dan bantu klien kembali pada posisi nyaman
23. Cuci tangan
24. Catat pada catatan perawat


PERAWATAN BALUTAN BASAH KE KERING
A. Peralatan
1. Sarung tangan steril
2. Sarung tangan sekali pakai
3. Set balutan ( gunting, pinset, forsep), nierbekken
4. Duk steril, kasa besar, kasa kecil, bantalan kasa
5. Balutan kasa ekstra dan surgipad atau bantalan ABD
6. Kom untuk larutan antiseptik atau larutan pembersih
7. Normal satin atau H2O steril
8. Larutan pembersih yang diresepkan dokter
9. Pester
10. Kantung plastik untuk sampah
11. Selimut mandi, bantalan tahan air
12. Aseton (jika diperlukan)
B. Prosedur
1. Jelaskan prosedur kepada klien
2. Siapkan peralatan yang diperlukan di meja (jangan membuka peralatan)
3. Ambil kantung plastik dan buat lipatan diatasnya. Letakkan kantung plastik agar mudah terjangkau oleh anda
4. Tutup ruangan dengan tirai, tutup semua jendela yang terbuka
5. Bantu klien pada posisi nyaman. Selimut mandi hanya untuk memajankan area luka. Instruksikan klien agar tidak menyentuh area luka atau peralatan steril.
6. Cuci tangan secara menyeluruh
7. Letakkan bantalan tahan air dibawah klien
8. Gunakan sarung tangan bersih sekali pakai dan lepaskan plester
9. Lepaskan plester dengan melepaskan ujung dan menariknya dengan perlahan, sejajar pada kulit dan mengarah pada balutan(bila masih terdapat plester pada kulit, dapat dibersihkan dengan aseton)
10. Angkat balutan secara perlahan dengan menggunakan forsep atau pinset
11. Jika balutan lengket pada luka, jangan dibasahi, pertahan lepaskan balutan dari eksudat yang mengering. Beritahukan klien tentang penarikan dan ketidak nyamanan
12. Observasi karakteristik dan jumlah drainase pada balutan
13. Buang balutan kotor pada nierbekken atau kantung plastik, hindari kontaminasi permukaan luar kantung. Lepaskan sarung tangan dengan m.enarik bagian dalam keluar. Buang pada nierbekken
14. Buka nampan balutan steril. Balutan, gunting,pinset dan forsep harus tetap pada nampan steril. Buka botol larutan antiseptik lalu tuang ke dalam kom steril atau kasa steril
15. Pakai sarung tangan steril
16. Inspeksi luka. Perhatikan kondisinya, letak drain, integritas jahitan dan karakteristik drainase. (palpasi bila perlu, dengan bagian tangan non dominan yang tidak akan menyentuh bahan steril)
17. Bersihkan luka dengan larutan antiseptik atau lanrtan normal satin. Pegang kasa yang dibasahi dalam larutan dengan forsep. Gunakan kasa terpisah untuk setiap usapanmembersihkan. Bersihkan dari daerah yang kurang terkontaminasi ke area terkontaminasi
18. Pasang kasa yang basah tepat pada permukaan luka. Bila luka dalam dengan perlahan bust kasaseperti kemasan dengan menekuk tepi kasa dengan forsep. Secara pedahan masukkan kasa ke dalam luka sehingga semua permukaan luka kontak dengan kasa basah
19. Pasang kasa steril keying diatas kasa basah
20. Tutup dengan kasa, surgipad, atau balutan ABD
21. Pasang plester diatas balutan
22. Lepaskan sarung tangan dan buang pada tempat yang telah disediakan
23. Sisihkan semua alat dan bantu klien kembali pada posisi nyaman
24. Cuci tangan
25. Catat pada catatan perawat

PERAWATAN BALUTAN GANGREN
A. Peralatan
1. Sarung tangan steril
2. Sarung tangan sekali pakai
3. Set balutan ( gunting, pinset, forsep, l klem arteri, gunting nekrotomi), nierbekken
4. Duk steril, Kasa besar, Kasa kecil, bantalan kasa
5. Balutan kasa ekstra dan surgipad atau bantalan ABD
6. Kom untuk larutan antiseptik atau larutan pernbersih
7. Nalrium Klorida atau H2O steril
8. Salep yang diresepkan dokter
9. Larutan pembersih yang diresepkan dokter
10. Plester
11. Kantung plastik untuk sarnpah, ember
12. Selimut mandi, Bantalan tahan air,terpal plastic
13. Larutan peroksida (jika diperlukan)
B. Prosedur
1. Jelaskan prosedur kepada klien
2. Siapkan peralatan yang diperlukan di meja (jangan membuka peralatan)
3. Ambil kantung plastik dan buat lipatan diatasnya. Letakkan kantung plastik agar mudah terjangkau oleh anda
4. Tutup ruangan dengan tirai, tutup semua jendela yang terbuka
5. Bantu klien pada posisi nyaman. Selimut mandi hanya untuk memajankan area luka. Instruksikan klien agar tidak menyentuh area luka atau peralatan steril.
6. Cuci tangan secara menyeluruh
7. Letakkan bantalan tahan air dibawah klien
8. Gunakan sarung tangan bersih sekali pakai dan lepaskan plester
9. Lepaskan plester dengan melepaskan ujung dan menariknya dengan perlahan, sejajar pada kulit dan mengarah pada balutan(bila masih terdapat plester pada kulit, dapat dibersihkan dengan aseton)
10. Angkat balutan secara perlahan dengan menggunakan forsep atau pinset
11. Jika balutan lengket pada luka, dibasahi dengan memakai larutan NaCl, perlahan lepaskan balutan dan eksudat yang mengering. Beritahukan klien tentang penarikan dan ketidaknyamanan
12. Observasi karakteristik dan jumlah drainase pada balutan
13. Buang balutan kotor pada nierbekken atau kantung plastik, hindari kontaminasi permukaan luar kantung. Lepaskan sarung tangan dengan menarik bagian dalam keluar. Buang pada nierbekken
14. Buka nampan balutan steril. Balutan, gunting,pinset dan forsep harus tetap pada nampan steril. Buka botol larutan antiseptik lalu tuang ke dalam kom steril atau kasa steril
15. Pakai sarung tangan steril
16. Inspeksi luka. Perhatikan kondisinya, letak drain, dan karakteristik drainase. (palpasi bila perlu, dengan bagian tangan non dominan yang tidak akan menyentuh bahan steril)
17. Bersihkan luka dengan larutan peroksida, kemudian lakukan nekrotomi, angkat jaringan yang sudah mall dengan menggunakan gunting, lakukan secara terus menerus, setelah jaringan yang mati habis, lalu bersihkan dengan larutan antiseptik atau larutan NaCl. Pegang kasa yang dibasahi dalam larutan dengan forsep. Gunakan kasa terpisah untuk setiap usapan membersihkan. Bersihkan dari daerah yang kurang terkontaminasi ke area terkontaminasi
18. Pasang kasa yang basah tepat pada permukaan luka. Bila luka dalam dengan perlahan buat kasa seperti kemasan dengan menekuk tepi kasa dengan forsep. Secara perlahan masukkan kasa ke dalam luka sehingga semua permukaan luka kontak dengan kasa basah
19. Pasang kasa steril kering di atas kasa basah
20. Tutup dengan kasa, surgipad, atau balutan ABD
21. Pasang plester diatas balutan
22. Lepaskan sarung tangan dan buang pada tempat yang telah disediakan
23. Sisihkan semua alat dan bantu klien kembali pada posisi nyaman
24. Cuci tangan
25. Catat pada catatan perawat






IRlGASI LUKA
A. Peralatan
1. Sarung tangan steril
2. Kom steril
3. Larutan irigasi (200 - 500 ml sesuai pesanan) dihangatkan pada suhu tubuh
4. Spuit irigasi steril (kateter karet merah steril sebagai penghubung untuk luka dengan lubang kecil)
5. Kom / nierbekken bersih untuk menampung larutan
6. Tray balutan steril dan Set balutan ( gunting, pinset, forsep), nierbekken
7. Bantalan tahan air
8. Jeli pelumas dan spatel lidah (tidak menjadi keharusan)
9. Sarung tangan sekali pakai
10. Set balutan ( gunting, pinset, forsep), Nierbekken
11. Kasa besar, kasa kecil, bantalan kasa
12. Balutan kasa ekstra
13. Plester
14. Kantung plastik untuk sampah
15. Selimut mandi, bantalan tahan air
16. Aseton
B. Prosedur
1. Jelaskan prosedur kepada klien
2. siapkan peralatan yang diperlukan di meja (jangan membuka peralatan)
3. Posisikan klien sehingga larutan irigasi akan mengalir dari bagian atas
4. tepi luka ke dalam kom yang diletakkan di bawah luka
5. Letakkan bantalan tahan air dibawah klien
6. Cuci tangan secara menyeluruh
7. Gunakan sarung tangan bersih sekali pakai dan lepaskan plester
8. Lepaskan plester dengan melepaskan ujung dan menariknya dengan perlahan, sejajar pada kulit dan mengarah pada balutan(bila masih terdapat plester pada kulit, dapat dibersihkan dengan aseton)
9. Angkat balutan secara perlahan dengan menggunakan forsep atau pinset
10. Jika balutan lengket pada luka, lepaskan dengan meneteskan normal salin steril atau air steril
11. Observasi karakteristik dan jumlah drainase pada balutan
12. Buang balutan kotor pada nierbekken atau kantung plastik, hindari kontaminasi permukaan luar kantung. Lepaskan sarung tangan dengan menarik bagian dalam keluar. Buang pada nierbekken
13. Buka nampan balutan steril. Balutan, gunting pinset dan forsep harus tetap pada nampan steril. Buka kom dan tuangkan larutan (volume bervariasi tergantung ukuran luka dan banyaknya drainase). Buka spuit siapkan tray balutan.
14. Pakai sarung tangan steril
15. Letakkan kom bersih menempel pada kulit klien di bawah insisi atau letak luka
16. Hisap larutan kedalam spuit Saat memegang ujung spuit tepat diatas Iuka, irigasi dengan peralatan tapi secara kontinu dengan tekanan yang cukup untuk mendorong drainase dan debris. Hindari menyemburkan atau menyemprotkan larutan. Irigasi tepat diatas luka.
17. Lanjutkan irigasi sampai larutan yang mengalir ke dalam kom jernih
18. Dengan kasa steril, keringkan tepi luka. Bersihkan dari yang kurang terkontaminasi sampai ke Area yang terkontaminasi. Bergerak secara progresif menekan dari garis insisi atau tepi luka 8. Tutup dengan kasa steril
19. Pasang plester diatas balutan
20. Lepaskan sarung tangan dan buang pada tempat yang telah disediakan
21. Sisihkan semua afat dan Bantu klien kembali pada posisi nyaman
22. Cuci tangan
23. Catat pada catatan perawat
Minggu, 23 Januari 2011 | 0 komentar |
Tes Pendengaran
Bab 1 pendahuluan
1.1 latar belakang
Suara adalah sensasi yang timbul apabila getaran longitudinal molekul di lingkungan eksternal, yaitu masa pemadatan dan pelonggaran molekul yang terjadi berselang seling mengenai memberan timpani. Plot gerakan-gerakan ini sebagai perubahan tekanan di memberan timpani persatuan waktu adalah satuan gelombang, dan gerakan semacam itu dalam lingukangan secara umum disebut gelombang suara.
Secara umum kekerasan suara berkaitan dengan amplitudo gelombang suara dan nada berkaitan dengan prekuensi (jumlah gelombang persatuan waktu). Semakin besar suara semakin besar amplitudo, semakin tinggi frekuensi dan semakin tinggi nada. Namun nada juga ditentukan oleh factor - faktor lain yang belum sepenuhnya dipahami selain frekuensi dan frekuensi mempengaruhi kekerasan, karena ambang pendengaran lebih rendah pada frekuensi dibandingkan dengan frekuensi lain. Gelombang suara memiliki pola berulang, walaupun masing - masing gelombang bersifat kompleks, didengar sebagai suara musik, getaran apriodik yang tidak berulang menyebabakan sensasi bising. Sebagian dari suara musik bersala dari gelombang dan frekuensi primer yang menentukan suara ditambah sejumla getaran harmonik yang menyebabkan suara memiliki timbre yang khas. Variasi timbre mempengaruhi mengetahhi suara berbagai alat musik walaupun alat tersebut memberikan nada yang sama. (William F.Gannong, 1998)
Telah diketahui bahwa adanya suatu suara akan menurunkan kemampuan seseorang mendengar suara lain. Fenomena ini dikenal sebagai masking (penyamaran). Fenomena ini diperkirakan disebabkan oleh refrakter relative atau absolute pada reseptor dan urat saraf pada saraf audiotik yang sebelumnya teransang oleh ransangan lain. Tingkat suatu suara menutupi suara lain berkaitan dengan nadanya. Kecuali pada lingkungan yang sangat kedap suara, Efek penyamaran suara lata akan meningkatan ambang pendengaran dengan besar yang tertentu dan dapat diukir.
Penyaluran suara prosesnya adalah telinga mengubah gelombang suara di lingkungan eksternal menjadi potensi aksi di saraf pendengaran। Gelombang diubah oleh gendang telinga dan tulang-tulang pendengaran menjadi gerakan-gerakan lempeng kaki stapes. Gerakan ini menimbulkan gelombang dalam cairan telinga dalam. Efek gelombang pada organ Corti menimbulkan potensial aksidi serat-serat saraf. (William F.Gannom,1998)
1.2 Tujuan
1. Membandingkan pendengaran melalui tulang dan melalui udara pada probandus.
2. Untuk mengetahui penurunan kemampuan mendengar (tuli atau tidak tuli)
3. Untuk mengetahui derajat kamampuan pendengaran secara individu
4. Untuk mengetahui lokalisasi penyebab ketulian.
5. Membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa (normal) dengan probandus.










BAB II
DASAR TEORI

Walaupun mekanisme mendengar tidak dapat mencakupseluruh gelombang bunyi tetapi keterbatasan ini tidak merupakan hambatan bagi seseorang tuidak dapat menanggapi berbagai macam bunyi yang berasal dari lingkungan.
Tuli di bagi menjadi dua jenis yaitu Tuli persepsi dan tuli kondusif.Seseorang dapat terjadi tuli konduksiapabila terjadi ganguan atau kelainan pada meatus acusticus externus: membrane tympani atau ossiculae (menleus, incus, stape). Jika seseornag terjadi ganguan pada organ salah satu tersebut di atas maka orang tersebut dikatakan tuli konduksi. Seseorang yang tuli konduksi berakibat kemampuan bunyi hantaran melalui udara tergantung dan hanya mampu mandengar bunyi melalui tulang saja. Tuli persepsi dapat terjadi apabila seseorang mengalami kelainan atau gangguan pada organ corti; saraf (nervus vestibulocohlearis atau N VIII); pusat pendengaran otak. Kkeadaan pada seseorang yang tuli persepsi terjadi gangguan mendengar baik melalui hantaran udara maupun tulang.
Telinga manusia terdiri dari telinga luar, tengah dan dalam. Telinga manusia menerima dan mentransmisikan gelombang bunyi ke otak dimana bunyi tersebut akan di analisa dan di intrepretasikan. Cara paling mudah untuk menggambarkan fungsi dari telinga adalah dengan menggambarkan cara bunyi dibawa dari permulaan sampai akhir dari setiap bagian-bagian telinga yang berbeda.
Telinga mempunyai resptor bagi 2 modalitas reseptor sensorik :
1. Pendengaran (N. Coclearis)
Telinga dibagi menjadi 3 bagian :
Telinga luar
• Auricula
Mengumpulkan suara yang diterima
• Meatus Acusticus Eksternus
Menyalurkan atau meneruskan suara ke kanalis auditorius eksterna
• Canalis Auditorius Eksternus
Meneruskan suara ke memberan timpani
• Membran timpani
Sebagai resonator mengubah gelombang udara menjadi gelombang mekanik.
Getaran suara ditangkap oleh telinga yang dialirkan ke telinga dan mengenai memberan timpani, sehingga memberan timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhhubungan satu sama lain. Selanjutnya stapes menggerakkan perilimfe dalam skala vestibui kemudian getaran diteruskan melalui Rissener yang mendorong endolimfe dan memberan basal ke arah bawah, perilimfe dalam skala timpani akan bergerak sehingga tingkap bundar (foramen rotundum) terdorong kearah luar.
Rangsangan fisik tadi diubah oleh adanya perbedaan ion kalium dan ion Na menjadi aliran listrik yang diteruskan ke cabang N.VIII yang kemudian neneruskan ransangan ke pusat sensori pendengaran di otak melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis.
Kelainan /Ganggaun Fisiologi Telinga
1. Tuli konduktif
Karena kelainan ditelinga luaaar atau di telinga tengah
a. Kelainan telingna luar yang menyebabkan tuli konduktif adalah astresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumsripta, osteoma liang teling.
b. Kelainan telinga tengah yang menyebabkan tuli konduktif adalah tubakar/sumbatan tuba eustachius, dan dislokasi tulang pensdengaaran.
2. Tuli perseptif
Disebabkan oleh kerusakan koklea (N. audiotorius) atau kerusakan pada sirkuit system saraf pusat dari telinga. Orang tersebut mengalamipenurunan atau kehilangan kemampuan total untuk mendengar suara dan akan terjadi kelainan pada
a. Organo corti
b. Saraf : N.coclearis dan N.vestibularais
c. Pusat pendengaran otak
3. Tuli campuran
Terjadi karena tuli konduksi yang pada pengobatannya tidak sempurna sehingga infeksi skunder (tuli persepsi juga).
Kekurangan Pendengaran
Yang dimaksud dengan kekurangan pendengaran adalah keadaan dimana seorang kurang dpat mendengar dan mengerti suara atau percakpan yang didengar untuk mendiagnosis kurang pendengaran. Sebagi dokter umum cukuplah memperhatikan keempat aspek penting berikuta ini :
• Penentuan pada penderita apakah ada kurang pendengaran atau tidak.
• Jenis kurang pendengaran
• Derajat kurang pendengaran
• Menentukan penyebab kurang pendengaran
1. Cara Penentuan pada penderita apakah ada KP atau tidak :
Dalam penentuan apakah ada KP atau tidak pada penderita hal penting yang harus diperhatiakan adalah umur prnderita. Respon manusia terhadap suara atau percakapan yang didengranya tergantung pada umur pertumbuhannya. Usia 6 tahun diambil sebagai batas, kurang dari 6 tahun respon anak terhadap suara atau percakapan berbeda-beda tergantung umurnya, sedangkan lebih dari 6 tahun respon anak terhadap suara atau percakapan yang didengar sama dengan orang dewasa karena luasnya aspek diagnostik KP. Pad kedua golongan umur tersbut, maka dalam makalah ini yang diuraikan hanya diagnosis KP pada anak-anak umur 6 tahun keatas dan dewasa.
2. Jenis KP
Jenis KP berdasarkan lokalisasi lesi :
a. KP jenis hantaran
Lokalisasi gangguan atau lesi terletak pada telinga luar dan atau telinga tengah.
b. KP jenis sensorineural
Lokalisasi gangguan atau lesi terletak pada telinga dalam (pada koklea dan N.VIII)
c. KP jenis campuran
Lokalisasi gangguan atau lesi terletak pada telinga tengah dan telinga dalam.
d. KP jenis sentral
Lokalisasi gangguan atau lesi terletak pada nucleus auditorius dibatang otak sampai dengan korteks otak.
e. KP jenis fungsional
Pada KP jenis ini tidak dijumpai adanya gangguan atau lesi organic pada system pendengaran baik perifer maupun sentral, melainkan berdadasarkan adanya masalah psikologis atau omosional.
Untuk KP jenis sentral dan fungsional mengingat masih terbatasnya pengetahuan proses pendengara diwilayah trsebut, disamping masih belum banyak dikenal teknik uji pendengaran yang dapat dimanfaatkan untuk bahan diagnostik, maka pada makalah ini akan dibatasi pada diagnosis KP jenis hantaran sensorineural dan campuran saja.

3. Menentukan penyebab KP
Menetukan penyebab KP merupakan hal yang paling sukar diantara kempat batasan atau aspek tersebut diatas, untuk itu diperlukan :
a. Anamnesis yang luas dan cermat tentang riwayat terjadinya KP tersebut
b. Pemeriksaan umum dan khusus (telinga, hidung dan tenggorokan ) yang teliti.
c. Pemeriksaan penunjang (bila diperlukan seperti foto laboratorium)
Ada 4 cara yang dapat kita lakukan untuk mengetes fungsi pendengaran penderita, yaitu :
a. Tes bisik
b. Tes bisik modifikasi
c. Tes garputala
d. Pemeriksaan audiometri
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

1.1 Alat dan Bahan
• Kapas
• Garpu tala 112 – 870 hz
1.2 Langkah-Langkah Percobaan

1. Test Rinne
Tujuan :
Membandingkan pendengaran melalui tulang dan melalui udara pada probandus.
Dasar teori :
Bila garpu tala digetarkan maka getaran melalui udara dapat didengar dua kali lebih lama dibandingkan melalui tulang. Normal getaran melalui tulang dapat didengar selama 70 detik maka getaran melalui udara dapat didengar selama 140 detik.
Cara kerja :
1. Penguin meletakkan pangkal garpu tala yang sudah digerakkan pada puncak kepala ( vertex) atau pada prosesus mastoideus. Mula – mula probandus akan mendengar garpu tala itu akan makin lemah dan akhirnya tidak mendengar lagi.
2. Saat probandus tidak mendengar garpu tala, penguji dengan segera memindahkan garpu tala itu kedekat telinga kanan.Dengan pemindahan garpu tala itu, maka ada dua kemungkinan yang bisa diperoleh yaitu :
• Probandus akan mendengar garpu tala lagi, disebut tes Rinne positif
• Probandus tidak mendengar suara garpu tala, disebut Rinne negative
3. Lakukan percobaan ini untuk telinga kiri dan ulangi percobaannya tiga kali, catatlah hasilnya dilembar kerja dan bandngkan hasilnya yang anda peroleh antara telinga kanan dengan telinga kiri.
Interprestasi :
• Normal : test Rinne Positive
• Tuli konduksi : test Rinne negative ( getaran dapat didengar melalui tulang lebih lama)

2. Test Swabach
Tujuan ;
Membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa ( normal ) dengan probandus.
Dasar :
Gelombang – gelombang dalam endolymphe dapat ditimbulkan oleh :
• Getaran yang datang melalui udara
• Getaran yang datang melalui tengkorak khususnya osteo temporal
Cara kerja :
1. Penguji meletakkan pangkal garpu tala yang sudah digetarkan pada puncak kepala probandus
2. Probandus akan mendengar suara garpu tala itu semakin lama makin melemah dan akhirnya tidak mendengar suara garpu tala itu lagi
3. Saat probandus mengatakan tidak mendengar suara garpu tala, maka penguji dengan segera memindahkan garpu tala itu ke puncak kepala orang yang diketahui normal ketajaman pendengarannya ( pembanding)
Bagi pembanding ada dua kemungkinan dapat terjadi :
• Akan mendengar suara atau
• Tidak mendengar suara

3. Test Weber
1. Peneliti meletakkan pangkal garputala yang sudah digetarkan pada puncak probandus
2. Probandus memperhatikan intensitas suara di kedua telinga
3. Apabila probandus mendengar lebih keras paa sisi sebelah kanan disebut lateralisasi ke kanan. Disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri intensitas suaranya sama.

4. Test Bing
1. Penguji meletakkan pangkal garputala yang sudah digetarkan di uncak kepala probandus
2. Probandus memperhatikan intensitas suara pada telinga kanan. Sebelum suara menghilang sumbatlah liang telinga kanan dengan kapas atau ujung jari. Kemungkinan yang terjadi pada probandus adalah :
• Suara garputalakedengaran bertambah keras ( percobaan Bing positive)
• Keras suara garputala tidak mengalami perubahan ( percobaan Bing indeferent). Ulangi percobaan ini tiga kali.
3. Lakukan percobaan ini seperti di atas untuk telinga kiri
4. Catatlah hasilnya pada lembar kerja. Bandingkan hasl yang diperoleh.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
a. Test Rinne
Nama Probandus : Nuril Fitriana
Nama penguji : Ahmad Ridwan
Hasil test : Positif (+)
(Probandus menerima suara berupa getaran dari garputala yang memalui tulang dan udara secara normal).

b. Test Swabach ( + )
Nama probandus : Ahmad Ridwan
Nama Penguji : M.Angga Mujahidin
Hasil test : Positif ( + )
(Daya transport suara antara tulang mastoid penguji dan probandus sama).

c. Test Webber
Nama Probandus : M.Angga Mujahidin
Nama Penguji : Nuril Fitriana
Hasil test : Positif (+)
(Lateralisasi antara kanan dan kiri normal artinya saat garputala digetarkan suara yang didengar oleh probandus sama antara telinga kanan dan kiri).

d. Test Bing
Nama probandus : Ali Akbar
Nama Penguji : Ahmad Ridwan
Hasil test : Positif (+)
( probandus dapat mendengar suara secara normal, artinya saat telinga kanan ditutup probandus dapat tetap merasakan suara pada telinag kanan namun lebih kuat suara pada telinga kiri. Demikian jika pada telinga kiri)

4.2 Pembahasan
Pada saat kita melakukan praktikum yang pertama yaitu tes rinne kita terlebih dahulu membunyikan garputala dengan Cara, kita membunyikan garpu tala yaitu dengan memegang tangkai garpu tala lalu memetik secara lunak kedua kaki garpu tala dengan ujung jari atau kuku kita. Garputal 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah probandus tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan didepan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne :
1) Normal : tes rinne positif
2) Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat didengar melalui tulang lebih lama)
3) Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :
a) Bila pada posisi II penderita masih mendengar bunyi getaran garpu tala.
b) Jika posisi II penderita ragu-ragu mendengar atau tidak (tes rinne: +/-)
c) Pseudo negatif: terjadi pada penderita telinga kanan tuli persepsi pada posisi I yang mendengar justru telinga kiri yang normal sehingga mula-mula timbul.
Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat terjadi baik berasal dari pemeriksa maupun probandus. Kesalah dari pemeriksa misalnya meletakkan garputala tidak tegak lurus, tangkai garputala mengenai rambut pasien dan kaki garputala mengenai aurikulum pasien. Juga bisa karena jaringan lemak planum mastoid pasien tebal.
Kesalahan dari probandus misalnya probandus lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan garputala di planum mastoid pasien. Akibatnya getaran kedua kaki garputala sudah berhenti saat kita memindahkan garputala kedepan meatus akustukus eksternus.
Pada saat kita melakukan praktikum yang kedua(2) yaitu tes swabach Cara kita melakukan tes Schwabach yaitu membunyikan garpu tala 512 Hz lalu meletakkannya tegak lurus pada planum mastoid pemeriksa. Setelah bunyinya tidak terdengar oleh pemeriksa, segera garpu tala tersebut kita pindahkan dan letakkan tegak lurus pada planum mastoid pasien. Apabila probandus masih bisa mendengar bunyinya berarti Scwabach memanjang. Sebaliknya jika probandus juga sudah tidak bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach memendek atau normal.
Cara kita memilih apakah Schwabach memendek atau normal yaitu mengulangi tes Schwabach secara terbalik. Pertama-tama kita membunyikan garpu tala 512 Hz lalu meletakkannya tegak lurus pada planum mastoid pasien. Setelah pasien tidak mendengarnya, segera garpu tala kita pindahkan tegak lurus pada planum mastoid pemeriksa. Jika pemeriksa juga sudah tidak bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach normal. Sebaliknya jika pemeriksa masih bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach memendek.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes Schwabach yang kita lakukan, yaitu :
1. Normal  Schwabch normal.
2. Tuli konduktif  Schwabach memanjang.
3. Tuli sensorineural  Schwabach memendek.
Kesalahan pemeriksaan pada tes Schwabach dapat saja terjadi. Misalnya tangkai garpu tala tidak berdiri dengan baik, kaki garpu tala tersentuh, atau pasien lambat memberikan isyarat tentang hilangnya bunyi.
Pada saat kita melakukan praktikum yang ketiga (3) yaitu tes weber yaitu dengan cara kita melakukan tes weber yaitu: membunyikan garputala 512 Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut probandus , telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga probandus mendengar atau mendengar lebih keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau sam-sama mendengaar maka berarti tidak ada lateralisasi.
Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh tengkorak, sehingga akan terdengar diseluruh bagian kepala. Pada keadaan patologis pada MAE atau cavum timpani missal:otitis media purulenta pada telinga kanan. Juga adanya cairan atau pus di dalam cavum timpani ini akan bergetar, biala ada bunyi segala getaran akan didengarkan di sebelah kanan.
Interpretasi:
a. Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri sama kerasnya.
b. Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya:
1) Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media disebelah kanan.
2) Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga kanan ebih hebat.
3) Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu, maka di dengar sebelah kanan.
4) Tuli persepsi pada kedua teling, tetapi sebelah kiri lebih hebaaaat dari pada sebelah kanan.
5) Tuli persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah kana jarang terdapat.

Pada saat kita melakukan praktikum yang ketiga (3) yaitu tes bing yaitu dengan cara kita melakukan tes weber yaitu: membunyikan garputala 512 Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut probandus suara garputala sebelah mana yang terdengar lebih keras setelah ditutup dengan kapas pada salah satu telinga probandus. Percobaan bing dikatakan positif jika suara garputala kedengaran semakin bertambah keras.

PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Telinga merupakan organ yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup bagi manusia. Untuk mengetahui ketajaman serta kenormalan telinga terdapat digunakan metode – metode test ketajaman yaitu test rinne, test swabach, test weber dan test bing. Pada test rinne bagian yang terpenting yang mempengaruhi test ini yaitu reflex gendang telinga serta tes ini berguna untuk membandingkan atara hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien.
pada test swabach hasil test positif keadaan itu disebabkan karena gelombang – gelombang dalam endolymphe probandus berkerja dengan normal sehingga gelombang – gelombang tersebut dapat menimbulkan getaran – getaran yang datang melalui udara dan tengkorak. Gelombang-gelombang dalam endolymphe dapat ditimbulkan oleh : Getaran yang datang melalui udara. Getaran yang datang melalui tengkorak, khususnya osteo temporale
pada metode test webber di dapat hasil test negative keadaan tersebut dikarenakan adanya lateralisasi telinga kanan pada probandus sehingga probandus diduga mengalami tuli konduksi sebelah kanan. Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri sama kerasnya.
Pada test bing didapat hasil test tersebut positif, keadaan tersebut disebabkan karena tidak adanya gangguan pada orgonon corti; saraf (nervus vestibulocohlearis atau N VIII yang berfungsi untuk mengatur pendengaran) sehingga probandus dinyatakan negative terhadap tuli persepsi.
5.2 Saran
a. Pada saat melakukan percobaan tes pendengaran ini, para mahasiswa, penguji serta orang-orang yang berada di ruangan Labolatorium di harap tenang karena penelitian ini memerlukan konsentrasi yang btinggi agar dapat mendengar suara dari garpu tala.
b. Pada saat penguju akan membunyikan garputala, penguji jangan sampai memegang bagian U garpu tala karena tangan penguji tersebut akan mempengaruhi suara atau getaran yang ditimbulkan oleh garputala tersebut.
c. pada saat probandus sudah tidak mendengar lagi suara garpu tala maka Penguji diharapkan agar cepat dan cekatan dalam memindahkan garputala tersebut ketempat lain yang sudah ditentukan.


DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Jakarta : EGC
2. Penyusun Tim. 2010. Modul Praktikum Fisiologi. Jember.
3. http://pemeriksaantespendengaran.com/, diakses pada tanggal 09 januari 2011, pukul 12.00 WIB, Jember
4. http://www.pengentahu.com/post-fungsi-garputala.html, diakses pada tanggal 09 januari 2011, pukul 12.00 WIB, Jember
5. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12_Ketulian.pdf/12_Ketulian.html, diakses pada tanggal 09 januari 2011, pukul 12.00 WIB, Jember
6. http://kepacitan.wordpress.com/2011/01/05/tes-pendengaran/, , diakses pada tanggal 09 januari 2011, pukul 12.00 WIB, Jember
7. Syaifudin,H,Drs.2006. Anatomi Fisologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : EGC
Senin, 17 Januari 2011 | 0 komentar |
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN MASALAH
BENIGNA HIPERTROPI PROSTAT (BPH)
A. DEFINISI
BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak. Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.

B. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara pasti. Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan dapat pula dianggap undangan(counter part). Oleh karena itu yang dianggap etiologi adalah karena tidak adanya keseimbangan endokrin. Namun menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 etiologi dari BPH adalah:
Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen.o Ketidakseimbangan endokrin.
Faktor umur / usia lanjut.
Unknown / tidak diketahui secara pasti.
C. ANATOMI FISIOLOGI
Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar Bledder neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata:- Panjang 3.4 cm- Lebar 4.4 cm- Tebal 2.6 cm. Secara embriologis terdiro dari 5 lobur:- Lobus medius 1 buah- Lobus anterior 1 buah- Lobus posterior 1 buah- Lobus lateral 2 buahSelama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi saru disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari:
- Kapsul anatomis
- Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler- Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:
o Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya
o Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatus zone
o Di sekitar uretra disebut periuretral gland
Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra. Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada oran dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba.Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik. Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan keluar cairan seperti susu.Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu, padat dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan.

D. PATOFISIOLOGI
Menurut syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 adalah Umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih.Pada beberapa kasus jika obsruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisi urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan batu kandung kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis.Retensi progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat. Edema ini berespon cepat dengan drainage kateter. Diuresis paska operasi dapat terjadi pada pasien dengan edema hebat dan hidronefrosis setelah dihilangkan obstruksinya. Pada awalnya air, elekrolit, urin dan beban solutlainya meningkatkan diuresis ini, akhirnya kehilangan cairan yang progresif bisa merusakkan kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan serta menahan air dan natrium akibat kehilangan cairan dan elekrolit yang berlebihan bisa menyebabkan hipovelemia.Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius, terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat.Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas

E. PATHWAY
Obstruksi uretra Penumpukan urin dlm VU Pembedahan/prostatektomiKompensasi otot destrusorSpasme otot spincterMerangsang nociseptorHipotalamusDekompensasi otot destrusorPotensi urinTek intravesikalRefluk urin ke ginjalTek ureter & ginjal meningkatGagal ginjalRetensi urinPort de entrée mikroorganismekateterisasiLuka insisiResiko disfungsi seksualNyeriResti infeksiResiko kekurangan vol cairanResiko perdarahan: resiko syok hipovolemikHilangnya fungsi tbhPerub pola eliminasiKurang informasi ttg penyakitnyaKurang pengetahuanHyperplasia periuretralUsia lanjutKetidakseimbangan endokrinBPH
F. MANIFESTASI KLINIS
Walaupun Benigna Prostat Hipertropi selalu terjadi pada orang tua, tetapi tak selalu disertai gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal yaitu:1. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih2. Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung kemih, hipertrofi kandung kemih dan cystitis.Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat Hipertrofi:a. Retensi urinb. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencingc. Miksi yang tidak puasd. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia)e. Pada malam hari miksi harus mengejanf. Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria)g. Massa pada abdomen bagian bawahh. Hematuriai. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin)j. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksik. Kolik renall. Berat badan turunm. AnemiaKadang-kadang tanpa sebab yang diketahui, pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter. Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan selaputnya merusak ginjal.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan:
1. LaboratoriumMeliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin
2. RadiologisIntravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).
3. Prostatektomi Retro PubisPembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat.
4. Prostatektomi ParinealYaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum.
H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalaha. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.b. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksic. Hernia / hemoroidd. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batue. Hematuriaf. Sistitis dan Pielonefritis
I. FOKUS PENGKAJIAN
Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH : Post Prostatektomi dapat penulis kelompokkan menjadi:
a) Data subyektif :
o Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
o Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
o Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan
o Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
b) Data Obyektif:
o Terdapat luka insisi
o Takikardi
o Gelisah
o Tekanan darah meningkat
o Ekspresi w ajah ketakutan
o Terpasang kateter

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyamam: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
2. Perubahan pola eliminasi : retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder
3. Disfungsi seksual berhubungan dengan hilangnya fungsi tubuh
4. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée mikroorganisme melalui kateterisasi
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, perawatannya.

K. RENCANA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.
Kriteria hasil:
a. Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang
b. Pasien dapat beristirahat dengan tenang.
Intervensi:
c. Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta penghilang nyeri.
d. Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi)
e. Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah
f. Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen tegang)
g. Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasif. Lakukan perawatan aseptik terapeutikg. Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat
2. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder.
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 5-7 hari pasien tidak mengalami retensi urin
Kriteria :
Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung kemih.
Intervensi :
a. Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan teknik steril
b. Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup
c. Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin, kulit lembab, takikardi, dispnea)
d. Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan sesudah menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya bekuan darah atau jaringan
e. Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam (mulai hari kedua post operasi)
f. Ukur intake output cairang. Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada kontra indikasih. Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3 minggu, anjurkan dan motivasi pasien untuk melakukannya.
3. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatn selama 1-3 hari pasien mampu mempertahankan fungsi seksualnya
Kriteria hasil :
Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual dan aktivitas secara optimal.
Intervensi :
a. Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang berhubungan dengan perubahannya
b. Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat
c. Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya tentang efek prostatektomi dalam fungsi seksual
d. Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah fungsi seksual
e. Beri penjelasan penting tentang:
f. Impoten terjadi pada prosedur radikal
g. Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal
h. Adanya kemunduran ejakulasif. Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1 bulan (3-4 minggu) setelah operasi.
4. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée ikroorganisme melalui kateterisasi
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 1-3 hari pasien terbebas dari infeksi
Kriteria hasil:
a. Tanda-tanda vital dalam batas normal
b. Tidak ada bengkak, aritema, nyeri
c. Luka insisi semakin sembuh dengan baik
Intervensi:
a. Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril.
b. Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya sumbatan, kebocoran)
c. Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar kateter dan drainage
d. Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal untuk menjamin dressing
e. Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas meningkat, dingin)
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, perawatannya
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 1-2 hari
Kriteria :
Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan mendemonstrasikan perawatan
Intervensi :
a. Motivasi pasien/ keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya tentang penyakit, perawat
b. Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang:
o Perawatan luka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter
o Perawatan di rumahc. Adanya tanda-tanda hemoragi
Minggu, 16 Januari 2011 | 0 komentar |
| 0 komentar |